Di masa lalu bahkan sekarang perkataan
“kecerdasan” selalu diartikan sebagai sesuatu keunggulan intelektual dan
diyakini sebagai sumber keunggulan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk
pendidikan. Seolah-olah mereka yang mempunyai kecerdasan intektual tinggi
diyakini akan mengalami keunggulan dalam segala aspek kehidupan. Dalam
kenyataannya, ternyata seseorang yang dianggap mempunyai kecerdasan yang
tinggi, tidak memiliki keunggulan secara keseluruhan. Dalam konsep sekarang
ini, kecerdasan itu tidak terbatas pada keunggulan inteltual akan tetapi pada
aspek non-intelektual seperti emosi, social, spiritual, dsb. Goleman (1995)
mengemukakan konsep kecerdasan emosional sebagi sumber keunggulan seseorang.
Secara lebih eksplisit Goleman mengembangkan konsep emosi sebagai suatu sumber
daya internal dalam diri seseorang yang mendorong untuk berprilaku dalam rangka
memperoleh kelangsungan hidup. Dengan emosi itulah semua makhluk dapat
mengendalikan diri untuk memperoleh kelangsungan hidup. Pada manusia emosi itu
kemudian berkembangan dengan kekuatan akalnya sehingga menghasilkan perilaku yang
berupa pikiran emosional disamping pikiran rasional. Dengan masuknya unsur
kecerdasan dalam kawasan emosional individu, maka perilakunya dapat lebih terkendalikan
sehingga mampu mewujudkan kehidupan yang bahagia dan efektif. Sebaliknya
kehidupan emosi yang kurang disertai
aspek kecerdasan hanya akan menghasilkan perilaku yang dikendalikan oleh hawa
nafsu. Dengan konsep ini, “kecerdasan emosional” merupakan keterpaduan antara
unsur emosi dan rasio dalam keseluruhan perilaku individu yang akan
mengendalikannya ke arah yang lebih bermakna dalm proses kelangsungan hidup.
Dalam proses pendidikan, kecerdasan
emosional mempunyai peranan yang besar dalam mencapai hasil pendidikan secara
lebih bermakna. Hal ini mengandung makna bahwa kecerdasan intelektual saja
belum memberikan jaminan penuh bagi pencapaian sukses pendidikan, akan tetapi
perlu didukung oleh kecerdasan emosional secara lebih optimal. Dengan kecerdasan
emosional yang tinggi seseorang akan mampu mengendalikan potensi intelektualnya
dalam pendidikan sehingga terwujud dalam sukses yang bermakna. Studi tentang
siswa yang berprestasi kurang (underachiever) menunjukan bukti empiris mengenai
hal itu. Siswa yang tergolong “berprestasi kurang” atau underachiever adalah
siswa yang memiliki potensi intelektual tinggi akan tetapi mempunyai prestasi
belajar tergolong rendah atau dibawah rata-rata. Penelitian mengenai hal itu
(Surya, 1979) memperoleh temuan bahwa factor-faktor non-intelektual mempunyai
kontribusi yang besar terhadap timbulnya gejala berprestasi kurang. Factor
non-intelektual tersebut antara lain sikap dan kebiasaan belajar, motif
berprestasi, minat belajar, kekurangmatangan, ketergantungan, pengalaman masa
kecil, kualitas kehidupan keluarga, hubungan social, dsb.
Teori-teori Emosi
Beberapa teori yang membeikan penjelasan
mengenai timbul-timbulnya emosi dan klarifikasi emosi adalah sebagai berikut.
1. Teori James-Lange
Teori ini menjelaskan bahwa persepsi
terhadap sasaran stimulus tertentu akan diikuti oleh respon tubuh dan Nampak.
Pengalaman yang menyertai respon inilah yang disebut emosi. Jadi, menurut teori
ini emosi timbul setelah adanya respon, misalnya sedih timbul karena menangis,
gembira timbul karena tertawa, rasa sayang timbul karena bergaul, dsb.
2. Teori Cannon Bord
Menurut teori ini proses terjadinya
emosi melalui proses sebagai berikut. Pada saat individu menerima stimulus yang
menimbulkan desakan syaraf yang dikirim ke kawasan hipotalamus dalam otak yang
kemudian mengirimkan desakan syaraf itu ke (a) daerah sensori pada lapisan luar
otak (cortex) untuk menyimpan pendirian, (b) lapisan luar otak (cortex) dari
prefrontal lobe, memberikan kesadaran individu terhadap stimulus yang kemudian
membentuk persepsi, (c) secara otomatis system syaraf membangkitkan resonansi
tubuh dari keadaan emosional.
3. Teori pengalaman bersama
Teori ini menjelaskan bahwa satu
stimulus yang diterima individu kemudian akan diberi timbangan nilai. Hal itu
membangkitkan perasaan yang diikuti oleh perubahan pada tubuh. Perilaku yang
bernada emosional akan ditinggalkan atau dihambat oleh aktivitas yang terjadi
secara sukarela.
4. Descrates
Mengelompokan emosi dasar dalam enam
macam, yaitu (a) hasrat, nafsu, keinginan, (b) benci, (c) kagum, (d) senang,
(e) sedih, (f) cinta.
5. Watson
Menyatakan hanya ada tiga emosi yang
benar-benar tidak dipelajari yaitu cinta, marah, dan takut.
6. Kretch dan Crutcfield
Mengkalisifikasikan emosi secara
berjenjang mulai dari yang paling dasar yaitu:
a) Emosi primer, seperti senang, takut,
marah, sedih
b) Emosi stimulasi sensori, seperti ngeri,
sakit, jijik, senang
c) Emosi penaksiran diri, seperti malu,
bangga, rasa berdosa
d) Emosi yang berkenan dengan orang lain,
seperti cinta, benci, rasa kasihan
e) Emosi apresiatif, seperti humor, cantik,
berhutnag budi
f) Suasana hati, seperti kesedihan,
kecemasan, kegembiraan.
0 komentar:
Posting Komentar