Senin, 16 Maret 2015

Di masa lalu bahkan sekarang perkataan “kecerdasan” selalu diartikan sebagai sesuatu keunggulan intelektual dan diyakini sebagai sumber keunggulan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk pendidikan. Seolah-olah mereka yang mempunyai kecerdasan intektual tinggi diyakini akan mengalami keunggulan dalam segala aspek kehidupan. Dalam kenyataannya, ternyata seseorang yang dianggap mempunyai kecerdasan yang tinggi, tidak memiliki keunggulan secara keseluruhan. Dalam konsep sekarang ini, kecerdasan itu tidak terbatas pada keunggulan inteltual akan tetapi pada aspek non-intelektual seperti emosi, social, spiritual, dsb. Goleman (1995) mengemukakan konsep kecerdasan emosional sebagi sumber keunggulan seseorang. Secara lebih eksplisit Goleman mengembangkan konsep emosi sebagai suatu sumber daya internal dalam diri seseorang yang mendorong untuk berprilaku dalam rangka memperoleh kelangsungan hidup. Dengan emosi itulah semua makhluk dapat mengendalikan diri untuk memperoleh kelangsungan hidup. Pada manusia emosi itu kemudian berkembangan dengan kekuatan akalnya sehingga menghasilkan perilaku yang berupa pikiran emosional disamping pikiran rasional. Dengan masuknya unsur kecerdasan dalam kawasan emosional individu, maka perilakunya dapat lebih terkendalikan sehingga mampu mewujudkan kehidupan yang bahagia dan efektif. Sebaliknya kehidupan emosi yang kurang  disertai aspek kecerdasan hanya akan menghasilkan perilaku yang dikendalikan oleh hawa nafsu. Dengan konsep ini, “kecerdasan emosional” merupakan keterpaduan antara unsur emosi dan rasio dalam keseluruhan perilaku individu yang akan mengendalikannya ke arah yang lebih bermakna dalm proses kelangsungan hidup.
Dalam proses pendidikan, kecerdasan emosional mempunyai peranan yang besar dalam mencapai hasil pendidikan secara lebih bermakna. Hal ini mengandung makna bahwa kecerdasan intelektual saja belum memberikan jaminan penuh bagi pencapaian sukses pendidikan, akan tetapi perlu didukung oleh kecerdasan emosional secara lebih optimal. Dengan kecerdasan emosional yang tinggi seseorang akan mampu mengendalikan potensi intelektualnya dalam pendidikan sehingga terwujud dalam sukses yang bermakna. Studi tentang siswa yang berprestasi kurang (underachiever) menunjukan bukti empiris mengenai hal itu. Siswa yang tergolong “berprestasi kurang” atau underachiever adalah siswa yang memiliki potensi intelektual tinggi akan tetapi mempunyai prestasi belajar tergolong rendah atau dibawah rata-rata. Penelitian mengenai hal itu (Surya, 1979) memperoleh temuan bahwa factor-faktor non-intelektual mempunyai kontribusi yang besar terhadap timbulnya gejala berprestasi kurang. Factor non-intelektual tersebut antara lain sikap dan kebiasaan belajar, motif berprestasi, minat belajar, kekurangmatangan, ketergantungan, pengalaman masa kecil, kualitas kehidupan keluarga, hubungan social, dsb.
Teori-teori Emosi
Beberapa teori yang membeikan penjelasan mengenai timbul-timbulnya emosi dan klarifikasi emosi adalah sebagai berikut.
1.    Teori James-Lange
Teori ini menjelaskan bahwa persepsi terhadap sasaran stimulus tertentu akan diikuti oleh respon tubuh dan Nampak. Pengalaman yang menyertai respon inilah yang disebut emosi. Jadi, menurut teori ini emosi timbul setelah adanya respon, misalnya sedih timbul karena menangis, gembira timbul karena tertawa, rasa sayang timbul karena bergaul, dsb.
2.    Teori Cannon Bord
Menurut teori ini proses terjadinya emosi melalui proses sebagai berikut. Pada saat individu menerima stimulus yang menimbulkan desakan syaraf yang dikirim ke kawasan hipotalamus dalam otak yang kemudian mengirimkan desakan syaraf itu ke (a) daerah sensori pada lapisan luar otak (cortex) untuk menyimpan pendirian, (b) lapisan luar otak (cortex) dari prefrontal lobe, memberikan kesadaran individu terhadap stimulus yang kemudian membentuk persepsi, (c) secara otomatis system syaraf membangkitkan resonansi tubuh dari keadaan emosional.
3.    Teori pengalaman bersama
Teori ini menjelaskan bahwa satu stimulus yang diterima individu kemudian akan diberi timbangan nilai. Hal itu membangkitkan perasaan yang diikuti oleh perubahan pada tubuh. Perilaku yang bernada emosional akan ditinggalkan atau dihambat oleh aktivitas yang terjadi secara sukarela.
4.    Descrates
Mengelompokan emosi dasar dalam enam macam, yaitu (a) hasrat, nafsu, keinginan, (b) benci, (c) kagum, (d) senang, (e) sedih, (f) cinta.
5.    Watson
Menyatakan hanya ada tiga emosi yang benar-benar tidak dipelajari yaitu cinta, marah, dan takut.
6.    Kretch dan Crutcfield
Mengkalisifikasikan emosi secara berjenjang mulai dari yang paling dasar yaitu:
a)    Emosi primer, seperti senang, takut, marah, sedih
b)    Emosi stimulasi sensori, seperti ngeri, sakit, jijik, senang
c)     Emosi penaksiran diri, seperti malu, bangga, rasa berdosa
d)    Emosi yang berkenan dengan orang lain, seperti cinta, benci, rasa kasihan
e)    Emosi apresiatif, seperti humor, cantik, berhutnag budi
f)      Suasana hati, seperti kesedihan, kecemasan, kegembiraan.

0 komentar:

Posting Komentar